Monday, February 14, 2011

Suku Tengger Di Bromo

Bromo sedang tak ramah, dari kawahnya terus menerus keluar awan panas serta lava pijar yang membumbung ke angkasa. Kejadian luar biasa di bumi Indonesia, setelah banyak gunung sedang selayaknya berpesta. Tak ada yang bersalah dalam hal ini, yang ada hanyalah kembali waspada dan kembalikan semua ini yang terjadi pada ke Maha an Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ada satu suku di kawasan Bromo Semeru, yakni suku Tengger. Hebatnya, bagi mereka, letusan Bromo, di anggap tak ada efek apa - apa. Kata mereka, Bromo meletus karena pesugihan seorang anak! Mereka sangat yakin dengan hal tersebut.

Segerombolan orang memaksa masuk ke kawasan kaldera Gunung Bromo. Mereka mendesak menerobos kedalam. Penjagaan di pintu masuk sebenarnya sudah ketat. Tapi kelompok orang itu, tak mau tahu. Tujuan mereka ingin mendekat dengan Bromo. Segerombolan orang - orang itu bukanlah kawanan biasa. Mereka orang - orang dari suku Tengger. Mereka inilah yang biasa mendiami kawasan Gunung Bromo. Suku Tengger itu sekawanan orang yang tinggal menetap di sekitar gunung Bromo. Mereka menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo dan Malang. Mereka dikenal taat dan menganut agama Hindu. Suku ini masih meyakini keturunan langsung dari kerajaan Majapahit. Disebut suku Tengger, juga bukan asal - asalan. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger itu. 'Teng' akhiran nama Roro An-'teng' dan 'ger' akhiran nama dari Joko Se-'ger'. Gunung Bromo sendiri dipercaya mereka sebagai gunung suci. Mereka menyebutnya sebagai gunung Brahma. Lidah Jawa kemudian menyebutkan Bromo. Roro Anteng dan Jaka Seger sendiri bukanlah hikayat biasa. Alkisah. Di era dulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri kerajaan Majapahit. Dialah Roro Anteng.



Anteng memilih mengungsi ke puncak Brahma, kini Bromo. Dia memilih mencari situasi aman karena Majapahit tengah dilanda huru - hara. Menuju ke puncak Brahma, Anteng sempat singgah sejenak di Desa Krajan. Di sana dia sekitar satu windu menetap. Selepas itu, perjalanan pun dilanjutkan menuju Pananjakan. Di daerah inilah dia menetap dan mulai bercocok tanam. Anteng bersama rombongannya yang tak banyak, mulai kehidupan baru. Roro Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Brahma tadi. Di sisi lain, seorang laki - laki juga mengalami hal serupa. Dia dari Kerajaan Kediri. Karena situasi di kerajaannya tak menentu, laki - laki itu memilih mencari tempat aman juga. Itulah Joko Seger. Joko ini seorang Jawa dari kasta Brahmana. Kalangan bangsawan. Joko pun berjalan menuju puncak Bromo. Tapi sebelum sampai di sana, dia mengasingkan diri ke Desa Kedawung. Tujuan Joko menuju Bromo tak lain sebenarnya mencari pamannya, yang sudah dulu menetap di puncak Bromo. Tapi tak jelas, apakah sang paman itu termasuk dalam rombongan Roro Anteng tadi. Di Desa Kedawung itu, Joko mendengar adanya orang - orang Majapahit yang menetap di Pananjakan. Joko pun bergegas menuju kesana. Di perjalanan, Joko tersesat. Dia pun bertemu dengan Roro Anteng. Jadilah Roro Anteng dan Joko Seger sebagai pasangan suami - istri. Sejak itulah pengikut mereka dikenal dengan istilah “Tengger” tadi.

Sewindu perkawinan mereka berjalan, tak kunjung diberi keturunan. Seorang pinisepuh menyarankan keduanya bertapa dan setiap tahun berganti arah. Anteng dan Joko pun mengikuti. Mereka 6 tahun bertapa. Pertapaan mereka ternyata tak sia - sia. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo, keluarlah semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Roro Anteng dan Joko Seger. Semburan cahaya itu entah berbentuk lava pijar, tak tahu juga. Yang jelas, seandainya kini ada lava pijar masuk ketubuh seseorang, dipastikan dia bakal hangus terbakar. Namun kisah Anteng dan Joko ini berbeda. Mereka digambarkan sakti mandraguna. Sejak cahaya dari Gunung Bromo itu muncul, tiba - tiba secuil wisik mengatakan mereka bakal dikarunia anak. Tapi ada syaratnya, anak terakhir mesti dikorban di kawah Gunung Bromo. Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat sedikit. Anak terakhir bernama R Kusuma. Bertahun - tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Anteng dan Joko itu tak rela mengorbankan anak bungsu mereka dijadikan pesugihan.

R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas. Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara Kusuma supaya saudara - saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara - saudaranya dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil bumi. Tapi kisah lain menunjukkan saudara - saudara Kusuma menjadi penjaga tempat - tempat lain. Kini warga Tengger tetap melaksanakan upacara itu. Mereka menyebutnya dengan nama Kesada. Pada upacara Kesada, dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Roro Anteng. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo ( kesepuluh ) menurut penanggalan Jawa.

Kini, Bromo kembali meletus. Hanya orang - orang Tengger yang tak takut dengan semburan dari gunung itu. Karena mereka yakin, Kusumah sudah ada di dalamnya. Walauhualam Bisawab...(Disarikan dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment